Jumat, 27 Maret 2009

Di Balik Kemilau Emas,

Negeri-negeri yang Tercabik dan Pertanyaan yang Mengganggu
The New York Times
Oleh Jane Perlez dan Kirk Johnson - 24 Oktober 2005

Dibalik daya tarik emas selalu ada unsur kegilaan.

Selama beribu-ribu tahun, sesuatu dalam logam kemilau abadi ini telah menggerakkan hasrat manusia – untuk memiliki dan menyimpannya, untuk membunuh atau menaklukkan demi logam tersebut, untuk menguasainya seperti seorang kekasih.
Pada awal tahun 1500-an Raja Ferdinand dari Spanyol menetapkan prioritas kepada para conquistador – penakluk - hambanya yang akan berangkat mencari Dunia Baru, "Bawa pulanglah emas," perintahnya kepada mereka, "kalau bisa, dapatkan semanusiawi mungkin, tapi apapun risikonya, bawalah emas." Dalam sejarahnya yang panjang dan berliku, saat ini emas tiba pada suatu masa baru dengan peluang dan bahaya.

Harga emas saat ini lebih tinggi dari harga 17 tahun terakhir, melambung hingga $500 per ounce. (1 ounce=28,3495 gr) [saat ini Maret 2009 sdh mencapai $930]. Tetapi, emas yang tersisa untuk ditambang sangatlah sedikit dan telah diperas dari bumi dengan biaya pemulihan lingkungan yang sangat tinggi dan tak jarang berada di belahan dunia yang termiskin.

Tidak seperti masa gila-emas pada waktu lampau, dari masa firaun hingga masa demam emas di Kalifornia pada pertengahan abad 19, emas-mania kali ini sedikit kaitannya dengan penaklukan kerajaan, ekonomi atau alat tukar. Sekarang hampir semuanya berkaitan dengan melonjaknya permintaan di tempat-tempat seperti Cina dan India. Di sana emas digunakan untuk perhiasan, yang mencakup 80 persen atau lebih penggunaan emas yang ditambang dewasa ini.

Gegap gempita gila emas ini memicu kemarahan kelompok-kelompok lingkungan dan komunitas-komunitas di sekitar pertambangan dan bahkan memaksa sejumlah pihak di Tiffany & Company dan perusahaan-perusahaan tambang terbesar di dunia untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang tak menyenangkan tentang biaya sesungguhnya dari penambangan emas.

"Tantangan terbesar yang kita hadapi adalah tidak adanya ukuran yang jelas dan diterima secara luas untuk penambangan yang bertanggungjawab secara lingkungan dan sosial," ujar pimpinan Tiffany, Michael Kowalski. Ia memperlihatkan iklan tahun lalu berukuran sehalaman penuh yang mendesak para penambang untuk melakukan pembaruan yang "sangat diperlukan".
Ambil contoh sebuah cincin. Untuk emas seberat satu ounce para penambang menggali dan mengangkut keluar 30 ton bebatuan, yang lalu diperciki dengan larutan sianida untuk melepaskan emas dari bebatuan keras tersebut. Untuk mendapatkan emas, para penambang di sejumlah pertambangan terbesar menggali setengah juta ton tanah setiap hari dan menumpuknya hingga ketinggian yang dapat menyaingi Piramida-piramida Besar. Selama bertahun-tahun bebatuan mineral tersebut kemudian dibasahi dengan larutan beracun. Luka akibat penambangan terbuka dalam skala ini bertahan lama.
Sebuah penyelidikan selama berbulan-bulan oleh The New York Times, yang meliputi kunjungan ke tambang-tambang emas di Amerika Barat, Amerika Latin, Afrika dan Eropa, mengungkapkan sebuah cerita langka dari balik sebuah industri tertutup yang mewarisi masalah lingkungan yang mengganggu dan masa depan tak pasti. Sejumlah tambang logam keras, termasuk emas, telah menjadi hampir setara dengan nuklir yang harus ditangani selamanya. Tahun lalu Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) memperkirakan, di Amerika Serikat saja biaya untuk membersihkan akibat operasi tambang emas dapat mencapai $54 milyar.

Sebuah laporan terbaru dari Kantor Akuntabilitas Pemerintah (Government Accountability Office) membantah keras perkiraan badan tersebut dan mengatakan bahwa celah kelemahan hukum, ketertutupan perusahaan dan kelemahan pengawasan pemerintah federal telah menambah biaya dan meningkatkan peluang bagi perusahaan-perusahaan tambang untuk mengabaikan biaya pemulihan lingkungan dan membiarkan masyarakat pembayar pajak yang menanggungnya. “Beberapa dekade yang lalu masalah pertambangan tidak dipandang sebagai prioritas sangat tinggi,” ujar Thomas P. Dunne, penjabat asisten administrator Kantor tersebut yang bertanggung jawab untuk masalah limbah padat dan tanggap darurat. "Baru sekarang masalah tersebut menjadi perhatian."
Dengan meningkatnya biaya dan perhatian terhadap isu tambang di negara-negara kaya, dimana logam-logam mulia terbaik telah habis tergali, dewasa ini 70 persen penambangan emas berfokus di negara-negara berkembang, seperti Guatemala dan Ghana. Para penambang dan pengritik sepakat bahwa di negara-negara tersebutlah berlangsung pertarungan sesungguhnya terhadap masa depan emas.
Perusahaan-perusahaan emas mengatakan mereka menyediakan lapangan kerja yang baik, memperkenalkan peraturan tentang lingkungan yang lebih ketat dan teknologi teruji untuk negara-negara yang menjadi lahan baru mereka. Dengan bantuan Bank Dunia, mereka membuka lahan pertambangan besar dan menjanjikan pembangunan. Pemerintah negara-negara itu menyambut investasi tersebut.
Tapi, kelompok-kelompok lingkungan mengatakan perusahaan-perusahaan melakukan penambangan yang tidak mungkin diperkenankan di negara-negara kaya, seperti membuang berton-ton limbah ke dalam sungai, teluk dan laut. Masyarakat yang hidup di sekitar kawasan pertambangan mengatakan sedikit sekali manfaat yang mereka peroleh dari pertambangan dan terlalu banyak beban yang ditanggung. Di Guatemala dan Peru rakyat berdemonstrasi untuk mengusir para penambang keluar dari negara mereka. Komunitas-komunitas lain memperkarakan perusahaan-perusahaan tambang di pengadilan.
Bulan ini sebuah provinsi di Filipina menuntut perusahaan emas terbesar kelima sedunia, Placer Dome, yang berbasis di Kanada. Provinsi itu memperkarakan perusahaan tersebut dengan alasan telah merusak sungai, teluk dan terumbu karang dengan membuang dalam jumlah yang setara untuk mengisi iring-iringan truk mengitari lingkaran bumi tiga kali.

Placer Dome yang juga mengelola tiga penambangan besar di Nevada menjawab dengan mengatakan bahwa mereka telah "menanggulangi masalah tersebut" dan telah mengeluarkan dana sebesar $70 juta untuk pemulihan dan $1,5 juta untuk pembayaran ganti rugi.
Beberapa perusahaan tambang emas telah menghentikan sejenak kegiatan mereka untuk mempertimbangkan apakah biaya yang dikeluarkan – untuk pemulihan lingkungan, untuk mempertahankan keuntungan atau reputasi mereka – setimpal untuk melanjutkan menambang emas. Tambang emas menghasilkan lebih banyak limbah per ounce dibandingkan logam lain. Selain itu, hanya sedikit manfaat emas yang berhubungan dengan industri.
BHP Billiton, perusahaan tambang terbesar di dunia yang berbasis di Australia, menjual tambang Ok Tedi yang menguntungkan di Papua Nugini pada tahun 2001 setelah menghancurkan kawasan hutan tropis seluas lebih dari 2.400 acre atau sekitar 972 hektare. Setelah pergi perusahaan itu mengatakan, tambang tersebut "tidak cocok dengan nilai-nilai kami tentang lingkungan."
Setelah mengalami pelajaran berat, perusahaan lain, seperti Newmont Mining, produsen emas terbesar sedunia, mengeluarkan banyak uang untuk membangun sekolah dan perumahan. Mereka berupaya keras mengikis masalah-masalah sosial di sekitar kawasan pertambangan. "Saya pikir tidak ada anggota kami mau dikaitkan dengan praktik yg buruk - terlebih reputasi semacam itu dapat menghalangi upaya mereka untuk membuka tambang baru," ujar Carol L. Raulston, juru bicara Asosiasi Pertambangan Nasional (National Mining Association). "Berita dapat menjangkau seluruh dunia dengan cepat dan tidak ada tempat untuk bersembunyi."
Para pengritik mengatakan perusahaan pertambangan luput dari perhatian karena tidak dikenali langsung oleh konsumen. Tidak seperti, misalnya, perusahaan minyak yang sama-sama mengeruk sumber daya alam namun nama mereka terpampang pada pompa minyak.
Tahun lalu, kelompok pemerhati tambang Earthworks memulai kampanye "No Dirty Gold” (Tolak Emas Kotor), dengan berdemonstransi di depan pertokoan trendi di Fifth Avenue. Mereka berupaya mengubah pertambangan emas dengan melobi para konsumen emas. "Mereka bertanya dari mana asal emas tersebut dan apakah menyebabkan kerusakan sosial atau lingkungan," ujar Michael E. Conroy, dosen senior dan peneliti di Universitas Yale jurusan Kehutanan dan Studi Lingkungan. "Kampanye tersebut mengundang tanggapan dari pihak media tambang. Sebagian membantah dengan mengatakan semua tuduhan itu bohong. Tetapi para pengusaha pengecer mulai menyadari kerentanan mereka."
Kowalski, pimpinan Tiffany, berupaya memenangi kontroversi itu. Ia telah mendobrak kebiasaan dengan membeli emas untuk Tiffany dari sebuah tambang di Utah yang tidak menggunakan sianida. Tapi penjual emas terbesar bukanlah toko-toko eksklusif seperti Tiffany, melainkan toko-toko besar seperti Wal-Mart. Kowalski, yang juga anggota dewan pengawas organisasi konservasi Wildlife Conservation Society, bahkan ragu menyebut emas dapat sepenuhnya "bersih".

Menggali demi Permintaan
Amrita Raj, calon pengantin berusia 25 tahun, sedang berbelanja perlengkapan perkawinan pada suatu Sabtu baru-baru ini di New Delhi. Hari itu ia perlu membeli "perangkat perkawinan": kalung emas dengan anting-anting dan dua pasang gelang emas yang serasi. Demi kehormatan keluarga, bakal keluarga ipar akan menerima hadiah emas pula - "seperangkat perhiasan yang ringan" untuk ibu mertua, cincin atau arloji emas untuk pengantin pria, dan anting-anting untuk ipar perempuan. "Tanpa emas, tidak layak disebut pesta perkawinan - setidaknya bagi orang India," ujar nona Raj.
Selama beribu-ribu tahun, emas telah menjadi bagian dari upacara dan perayaan. Tapi sekarang tradisi tersebut telah menemukan ladang baru. Menurut Dewan Emas Dunia, kelompok konsumen baru yang memiliki uang atau 'orang kaya baru', yang memadati pertokoan di Shanghai dan pasar-pasar di Mumbai, telah mendongkrak angka penjualan perhiasan hingga mencapai $38 milyar tahun ini. Tahun lalu, penjualan meningkat 11 persen di Cina dan 47 persen di India, sebuah negara berpenduduk satu milyar jiwa yang tampaknya selalu haus akan emas - untuk perhiasan, kuil dan mas kawin - dan secara tradisional menjadi konsumen emas terbesar di dunia.
Permintaan semacam itu menimbulkan pendapat dari kalangan didalam dan diluar industri tersebut bahwa emas bernilai budaya dan seharusnya tidak dipermasalahkan. Keinginan menyimpan emas tidak terbatas pada keluarga-keluarga di India atau Timur Tengah.
Amerika Serikat adalah konsumen emas terbesar kedua di dunia dan merupakan pemilik cadangan emas terbesar di dunia. Pemerintah AS memiliki simpanan emas seberat 8.134 ton dengan nilai sekitar $122 milyar. Tahun lalu Federal Reserve (bank sentral Amerika Serikat) dan bank-bank utama lainnya memperbarui sebuah kesepakatan untuk membatasi secara sangat ketat penjualan cadangan mereka demi mempertahankan harga emas yang sedang tinggi.

Harga itu bukan sekadar masalah penawaran dan permintaan namun berkaitan dengan psikologi pasar. Emas dibeli oleh para investor yang cemas ketika dollar melemah dan perekonomian tidak pasti. Itulah yang menjadi alasan utama tingginya harga emas dewasa ini. Bagi para penambang harga tersebut boleh dibilang menentukan segalanya - di mana emas ditambang, berapa banyak yang ditambang, dan berapa nilai akhirnya.
"Bijih emas dapat ditambang dengan kualitas yang lebih rendah dibandingkan logam lainnya," ujar Mike Wireman, spesialis tambang dari EPA cabang Denver. "Itu artinya tambang terbuka yang besar. Tapi, untuk mendapatkan keuntungan penambangan juga harus mudah dan murah, dan itu artinya penggunaan sianida."
Jenis operasi pertambangan besar semacam itu dapat ditemukan di Yanacocha, sebuah tambang besar di Peru utara yang dikelola oleh Newmont. Di kawasan peternakan dan pertanian itu, bukit-bukit hijau telah dikeruk hingga yang tersisa adalah tanah-tanah pasir datar yang lebih menyerupai wajah Amerika Barat daripada dataran tinggi Andes.
Gunung-gunung dihancurkan secara sistematis, tanahnya diangkut oleh truk-truk sebesar rumah untuk ditimbun kembali menjadi gundukan bijih logam. Selang-selang irigasi lalu ditempatkan pada gunung-gunung baru buatan manusia tersebut. Setelah itu berjuta-juta galon larutan sianida akan mengaliri bebatuan tersebut selama bertahun-tahun. Sianida melarutkan emas sebelum dapat dipisahkan dan dilebur.

Di situs-situs seperti Yanacocha, satu ounce emas diperoleh dari 30 ton bijih. Tapi, untuk mendapatkan bijih tersebut, puluhan ton tanah lagi harus dikeruk. Pada beberapa tambang di Nevada untuk memperoleh satu ounce emas 100 ton atau lebih tanah harus digali, papar Ann Maest, seorang ahli geokimia yang menangani isu-isu pertambangan.
Perusahaan-perusahaan tambang mengatakan mereka beroperasi untuk memenuhi sebuah permintaan dan cara penambangan emas seperti itu, disebut cyanide heap leaching atau pencucian tumpukan dengan sianida, sama baiknya dengan jenis pemanfaatan tanah yang lain, atau bahkan lebih baik.
Sianida bukanlah satu-satunya pilihan. Tapi dianggap cara paling hemat biaya untuk mengambil kepingan-kepingan kecil emas yang halus. Menurut para penambang, keuntungan bisnis emas terlalu kecil, sedangkan cadangan emas dunia sudah terlalu sedikit untuk ditambang dengan cara lain. "Cara penumpukan lebih murah," ujar Shannon W. Dunlap, manajer lingkungan di Placer Dome. "Bijih kami tidak dapat diuraikan tanpa pencucian tumpukan dengan sianida."
Tapi, banyak bebatuan yang telah dibongkar tersebut, yang terpapar hujan dan udara untuk pertama kalinya, juga menjadi sumber bom waktu lingkungan dengan ongkos pemulihan milyaran dollar. Sulfida pada bebatuan akan bereaksi dengan oksigen, menimbulkan asam sulfur. Asam tersebut mencemari alam dan juga membebaskan logam-logam berat seperti kadmium, timah dan merkuri, yang berbahaya bagi manusia dan ikan, dalam konsentrasi rendah sekalipun. Reaksi berantai ini dapat berlangsung berabad-abad.
Banyak pejabat dalam industri tersebut, enggan menggunakan kata polusi, membantah bahwa sebagian besar yang mereka tinggalkan bukanlah limbah melainkan sekadar timbunan batuan. Menurut mereka, penambangan dengan pengelolaan terbaik memulihkan kondisi tanah dengan cara "menutupi" tumpukan batu dengan tanah dan menggunakan kapur untuk mencegah timbulnya asam. Tetapi, sulit mencegah polusi secara tuntas. Bahkan tumpukan bebatuan yang ditutupi, untuk mencegah masuknya udara dan air, dapat melepaskan zat-zat polusi terutama pada iklim basah.
Sianida juga dapat menimbulkan masalah jangka panjang. Banyak ilmuwan setuju sianida mengalami dekomposisi bila terkena sinar matahari dan tidak berbahaya bila sangat diencerkan. Namun, sebuah penelitian oleh Survei Geologis Amerika Serikat pada tahun 2000 mengungkapkan bahwa sianida dapat berubah menjadi racun lain dan menetap, terutama dalam iklim dingin. Dan ketika melalui proses kimiawi menahun sianida melepaskan emas dari bebatuan, logam lain yang berbahaya juga ikut terlepas.
Pernah terjadi beberapa kecelakaan besar yang berkaitan dengan sianida. Menurut laporan Program Lingkungan PBB (UNEP), dari tahun 1985 hingga 2000, lebih dari selusin waduk pembuangan limbah tambang mengandung sianida ambruk. Bencana terparah terjadi di Rumania pada tahun 2000, ketika limbah tambang tumpah ke sungai Danube, membunuh lebih dari seribu ekor ikan dan tumpahan sianida mengalir sejauh 1.600 mil ke Laut Hitam.
Kebocoran itu menimbulkan tuntutan agar industri emas meningkatkan penanganan sianida. Setelah lima tahun berdiskusi, industri ini mengeluarkan aturan baru bulan ini. Peraturan ini menetapkan standar untuk pengangkutan dan penyimpanan sianida dan meminta para perusahaan untuk diperiksa oleh sebuah badan baru. Tapi peraturan tentang sianida ini bersifat suka rela dan tidak ditegakkan oleh pemerintah. Glenn Miller, profesor ilmu lingkungan di University of Nevada, mengatakan peraturan tersebut tidak mampu menjawab salah satu pertanyaan terpenting namun kurang diperhatikan tentang pertambangan, yaitu: Apa yang terjadi bila tambang tutup?

Bencana di Rocky Mountain
Sebuah jawaban dapat ditemukan di suatu kawasan pedesaan yang berbatu-batu di bagian timur laut Montana, yang dikenal sebagai Little Rocky Mountains. Di sana Dale Ployhar sering datang ke lereng gundul di sekitar bekas tambang emas Zortman-Landusky untuk menanam tunas-tunas pinus di lereng bukit sepi yang hanya ditumbuhi rerumputan. "Saya membawa biji pinus dan menyebarkannya di sini, mudah-mudahan dapat tumbuh kembali," ujarnya, seraya memandang kota kecil Zortman yang hanya berpenduduk 50 jiwa.
Ketika dibuka pada tahun 1979, Zortman-Landusky adalah penambangan terbuka dengan sianida berskala besar pertama di Amerika Serikat. Jejaknya masih tercetak pada lingkungan, jiwa penduduk dan politik di Montana hingga hari ini. Berbagai bencana yang terjadi di sana – meliputi kebangkrutan, ilmu pengetahuan yang buruk, kerusakan lingkungan dan kesenjangan peraturan – menjadi pertanda jalan berisiko yang telah ditempuh industri emas selama ini, demikian pandangan para ahli pertambangan, pejabat pemerintahan dan ahli lingkungan.
"Banyak kegetiran yang tersisa," kata Ployhar, 65 tahun, seorang operator alat berat. Anak lelakinya membeli sejumlah bidang tanah bekas tambang yang dilelang akibat bangkrut empat tahun lalu. Sejumlah ahli tambang mengatakan Zortman-Landusky - gabungan dua tambang terbuka di desa Zortman dan Landusky yang bertetangga – memberi pelajaran penting tentang bagaimana penggunaan bahan kimia dalam pertambangan bekerja, dan kegagalannya.
Pihak lain mengatakan jadwal produksi yang ambisius dari pemilik tambang, Pegasus Gold, yang berbasis di Kanada, adalah penyebabnya. Paket bonus lebih dari $5 juta bagi para eksekutif puncak, yang diumumkan setelah perusahaan mengajukan perlindungan atas kebangkrutan pada tahun 1998, tidak banyak membantu.
Penambangan dengan sianida berisiko bahkan pada kondisi terbaik. Di Zortman, perusahaan membuat kesalahan dengan membangun timbunan sianida di atas bebatuan yang berubah menjadi asam. Sianida dan asam bercampur menjadi larutan racun yang merembes dari gundukan. Penambangan berhenti pada tahun 1996, dan dalam pernyataan publik pada tahun berikutnya pejabat perusahaan bersikeras bahwa mereka ingin menjadi warga korporasi yang bertanggung jawab dan akan membersihkan wilayah tersebut. Namun harga emas saat itu jatuh menjadi $280 per ounce. Pegasus pun tutup.
"Kasus itu menjadi salah satu contoh yang terburuk di Montana," ujar Wayne E. Jepson, manajer proyek Zortman pada Montana Department of Environmental Quality. "Akan tetapi, bahkan hingga akhir 1990-an, salah satu penelitian terhadap tambang Landusky mengungkapkan tidak terdapat asam dalam jumlah berarti." Risiko lingkungan dari tambang batuan keras sering disepelekan dan tidak diberitakan, demikian menurut dua penelitian terbaru.
Robert Repetto, seorang ahli ekonomi dari University of Colorado, memeriksa 10 tambang di dalam dan di luar Amerika Serikat yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan publik. Dalam laporannya yang terbit bulan Juni diungkapkan, hanya satu perusahaan yang menyampaikan secara lengkap tentang "risiko dan tanggung jawab" kepada pemegang saham.
Kelompok lingkungan, Earthworks, meneliti 22 tambang untuk sebuah laporan yang akan diterbitkan pada bulan November. Hampir semuanya mempunyai masalah tentang air, sehingga kelompok tersebut menyimpulkan "dampak mutu air hampir selalu disepelekan," sebelum penambangan dimulai. "Perpaduan antara pendekatan peraturan dan ilmu pengetahuanlah yang menimbulkan perhitungan yang tidak akurat," ujar James R. Kuipers, konsultan dan mantan praktisi pertambangan yang ikut menulis laporan tersebut.
Di Zortman-Landusky, pemerintah negara bagian Montana menyusun sendiri penelitian dampak lingkungan dengan mengandalkan informasi dari perusahaan, ujar Kuipers.
Montana dan negara-negara bagian lain yang memiliki bisnis pertambangan besar acapkali masih bergantung pada perusahaan-perusahaan tambang untuk memperoleh data ilmiah mengenai dampak lingkungan, atau mendapatkan uang untuk mengongkosi penelitian, kata para pejabat federal dan negara bagian. Penyebabnya terutama karena pada umumnya badan-badan pemerintah kekurangan sumber daya untuk melakukan sendiri penelitian yang mendalam dan mahal.
Sejumlah pejabat pertambangan membela praktik ini dengan mengatakan data ilmiah yang diperoleh dari perusahaan dengan kepentingan keuangan sebagai hasilnya tidak selalu jelek bila kajian dibuat menurut standar ilmiah yang ketat. "Yang penting yaitu bahwa badan-badan negara bagian dan federal mempunyai dana dan keahlian untuk memeriksa informasi tersebut," kata Wirema dari kantor E.P.A Denver. Tapi sebuah pelajaran yang bisa dipetik dari Zortman adalah bahwa informasi yang baik kadang-kadang diabaikan.
Pada awal 1990-an, seorang konsultan EPA dan mantan praktisi pertambangan, Orville Kiehn, dalam sebuah memo kepada bosnya memperingatkan bahwa perusahaan tidak menyediakan cukup dana untuk pengolahan air limbah. Pendapat Kiehn, yang sekarang terbukti benar, tidak mendapat tanggapan. Tidak seperti saat ini, pada waktu itu badan lingkungan memiliki otoritas hukum yang kecil untuk melindungi masyarakat dari penambangan yang sedang beroperasi, kecuali dengan mengajukan tuntutan hukum. Seperti misalnya dilakukan oleh badan lingkungan pada tahun 1995 ketika Pegasus terbukti melanggar standar federal tentang air bersih.
Perusahaan itu menyelesaikan perkara pada tahun 1996 dan menyepakati pembayaran $32,3 juta, terutama untuk meningkatkan dan memperluas unit pengolahan air. Pada waktu itu, para pejabat negara bagian menolak gagasan untuk mendesak Pegasus membayar lebih banyak. Musim semi tahun ini, dewan legislatif Montana menyediakan dana khusus untuk pengolahan air selama 120 tahun ke depan dengan biaya lebih dari $19 juta.
Washington juga menghadapi masalah kegagalan dalam merencanakan biaya pertambangan. Kantor Akuntabilitas Pemerintah (Government Accountability Office), yaitu badan investigasi Kongres Amerika Serikat, mengritik tajam EPA pada bulan Agustus karena tidak mensyaratkan perusahaan tambang logam untuk memberikan jaminan bahwa mereka dapat membayar biaya pembersihan. Kegagalan ini membuat para pembayar pajak berpotensi membayar jutaan dollar untuk biaya pemulihan tersebut.
Pengalaman Zortman menjadi pelajaran berharga bagi Montana. Pada tahun 1998, ketika bencana tersebut menjadi berita utama di seluruh negeri, masyarakat menyetujui pelarangan penambangan dengan sianida yang berlaku di seluruh negeri. Pelarangan seperti ini, yang menghentikan setiap proyek tambang emas baru, baru pertama kali terjadi di Amerika Serikat. Larangan ini diperbarui tahun lalu.

Keuntungan dan Kemiskinan
Dewasa ini perusahaan-perusahaan emas menyerbu pelosok bumi dituntun oleh pemandu yang kuat: Bank Dunia. Bank Dunia, lembaga utama yang bergiat menuntaskan kemiskinan dunia, beranggapan bahwa perusahaan-perusahaan tambang multinasional akan membawa investasi, mendorong pembangunan jalan, sekolah dan pekerjaan, ke negara-negara yang tidak memiliki banyak modal selain sumber daya alam mereka. Bagi Bank Dunia, yang berupaya menarik investasi swasta ke negara-negara kurang berkembang, logikanya sederhana saja.
"Kami berinvestasi untuk membantu mengurangi kemiskinan dan membantu memperbaiki taraf hidup masyarakat," ujar Rashad-Rudolf Kaldany, pimpinan bidang minyak, gas dan tambang di Korporasi Keuangan Internasional (International Finance Corporation atau IFC). IFC adalah lembaga penghasil keuntungan bagian dari Kelompok Bank Dunia.
Bank Dunia bekerja di kedua pihak. Atas desakannya, lebih dari 100 pemerintahan negara yang mengalami masalah keuangan setuju memotong pajak dan royalti untuk memikat perusahaan-perusahaan tambang besar, ujar James Otto, profesor tamu di sekolah hukum University of Denver. Sementara itu, Bank Dunia memberikan uang untuk atau menjamin lebih dari 30 proyek tambang emas, untuk mencari keuntungan.
Meskipun tambang hanyalah bagian kecil dari portofolio Bank Dunia, ketika kecelakaan meningkat kontroversi pun merebak. Dalam salah satu bencana terburuk, pada tahun 1995 sebuah tambang di Guyana yang dijamin oleh Bank Dunia menumpahkan lebih dari 790.000 galon limbah tambang bercampur sianida ke anak Sungai Essequibo, yang merupakan sumber air utama negara tersebut.
Pada tahun 2001, presiden Bank Dunia waktu itu, James D. Wolfenshon, menetapkan moratorium investasi tambang selama dua tahun dan memerintahkan penyusunan sebuah kajian tentang keterlibatan Bank Dunia dalam industri tersebut.Emil Salim, mantan menteri lingkungan hidup Indonesia memimpin studi tersebut. "Saya katakan, sampai saat ini Korporasi Keuangan Internasional hanya mendengarkan pihak bisnis," ujarnya dalam sebuah wawancara di Jakarta. "Saya katakan, sekarang mari kita dukung masyarakat sipil." Emil Salim merekomendasikan pengurangan penggunaan sianida, pelarangan pembuangan limbah ke sungai dan laut, dan memberi masyarakat kuasa untuk menolak rencana penambangan oleh perusahaan.
Akan tetapi, industri tambang protes atas rekomendasi tersebut. Pemerintah negara-negara berkembang juga mengatakan bahwa mereka menyukai pinjaman Bank Dunia untuk penambangan emas. Pada akhirnya Bank Dunia memutuskan untuk menetapkan sasaran-sasaran yang kurang ambisius.
Bank Dunia berjanji membuat laporan dampak lingkungan yang dapat dipahami oleh penduduk desa dan hanya mendukung proyek-proyek yang mendapat dukungan masyarakat luas. Bank Dunia juga mendesak pemerintah negara-negara yang terlibat agar menggunakan uang pajak dan royalti dari perusahaan-perusahaan tambang untuk membantu masyarakat yang tinggal di sekitar tambang. Tapi para pengritik dan kelompok-kelompok lingkungan mengatakan bahwa Bank Dunia hanya meminta sedikit saja kepada perusahaan tambang sebagai imbalan atas pinjaman dana dan 'restu'nya.
Petunjuk Bank Dunia mengenai kandungan arsenik dalam air minum kurang ketat dibandingkan petunjuk dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Kadar cemaran merkuri yang diijinkan Bank Dunia lebih toleran daripada yang diperbolehkan EPA, ujar Andrea Durbin, seorang konsultan kelompok ornop yang menuntut ditegakkannya standar yang lebih ketat.
Korporasi Keuangan Internasional (IFC) sedang menyusun petunjuk baru yang akan menjelaskan harapan-harapan mereka terhadap para penambang, kata Rachel Kyte, direktur pembangunan lingkungan dan sosial IFC. Akan tetapi rancangan peraturan tersebut justru memberikan posisi lebih menguntungkan kepada perusahaan-perusahaan tambang, ujar Manish Bapna, direktur eksekutif Bank Information Center, sebuah kelompok yang memantau kelompok Bank Dunia. Peraturan-peraturan tersebut malah akan memudahkan perusahaan-perusahaan tambang mengusir masyarakat adat dan menambang di sejumlah habitat paling berharga di muka bumi, ujarnya.
Walau Bank Dunia sudah membuat studi kajian dua tahun, kenyataannya tidak banyak yang berubah, kata Robert Goodland, mantan direktur lingkungan di Bank Dunia yang menjadi penasihat dalam studi itu. "Bank Dunia bersikeras untuk bekerja seperti biasa," ujarnya.

Perlawanan di Guatemala
Investasi pertama Bank Dunia pada pertambangan baru pasca studi kajian dapat ditemukan saat ini di Guatemala bagian barat.

Uskup Alvaro Ramazzini, pria kekar yang mencampur-adukkan politik dan agama dengan mudahnya, tidak mengerti mengapa Bank Dunia meminjamkan $45 juta kepada perusahaan multinasional kaya raya untuk menambang emas di daerahnya, sebuah kawasan miskin yang dihuni para petani suku Maya.

"Mengapa tidak membelanjakan uang secara langsung untuk menolong masyarakat?" tanyanya.
Tersebar membentang di lembah yang rimbun, sebuah tambang baru dibangun oleh Glamis Gold, sebuah perusahaan Kanada, yang tahun lalu dipilih oleh Bank Dunia sebagai sebuah contoh baru untuk penambangan emas yang dapat menolong masyarakat miskin. Tapi tambang tersebut selalu menghadapi penolakan.

Pada pertemuan dewan IFC bulan Juni 2004 banyak keraguan terungkap mengenai pinjaman Bank Dunia sebesar $45 juta kepada Glamis. Para anggota mempertanyakan mengapa proyek senilai $261 juta hanya menciptakan 160 pekerjaan jangka panjang dan mengapa bank memberikan uang kepada perusahaan "bermodal kuat" seperti Glamis, demikian isi notulensi rapat yang diberikan kepada The Times oleh kelompok ornop yang menentang proyek itu. Ada juga yang mengkhawatirkan bahwa IFC terlalu mengandalkan informasi dari Glamis tentang kemungkinan polusi.

Bank Dunia telah berjanji untuk hanya mendukung tambang yang mendapat dukungan luas penduduk setempat. Tapi, dalam kenyataannya di Guatemala justru masyarakat menentang rencana tambang baru tersebut sepanjang Desember lalu.Para petani yang marah menutup jalan untuk menghentikan truk-truk yang membawa mesin-mesin pengasah untuk tambang tersebut. Akhirnya, setelah 40 hari polisi dan demonstran beradu kekuatan peralatan berat tersebut dibawa masuk dengan pengawalan tentara. Untuk membujuk penduduk desa merasakan manfaat pertambangan, Glamis menerbangkan 19 pesawat penuh berisi petani Guatemala ke tambang yang mereka kelola di Honduras.

Namun, penduduk desa Sipicapa masih menginginkan suara mereka didengar. Pada suatu Sabtu yang sejuk di bulan Juni, lebih dari 2.600 pria dan perempuan dengan mengenakan pakaian terbaik dan mengajak anak-anak mereka, memadati halaman dan beranda gereja serta gedung pertemuan masyarakat untuk mengikuti pemungutan suara yang tak-mengikat."Kami menyesal para nenek moyang kami telah mengizinkan orang Spanyol membeli tanah kami dengan pembayaran perhiasan murahan dan cermin," kata Fructuoso López Pérez, walikota setempat. "Maka kini kami harus memberikan suara agar anak-anak kami kelak berterima kasih kepada kami karena telah berbuat benar." Orang-orang yang memadati gereja mengangkat tangan semua tanda menolak secara bulat tambang baru tersebut.

Kegusaran para petani tersebut sebagian besar dipicu oleh informasi yang disampaikan oleh Robert E. Moran, seorang ahli hidrogeologi Amerika. Ia diminta oleh Madre Selva, sebuah ornop Guatemala, untuk mengunjungi situs tambang dan mengkaji laporan dampak lingkungannya. Robert E. Moran, yang waktu itu menjadi anggota dewan penasihat studi pertambangan dari Bank Dunia, mendapatkan bahwa laporan dampak lingkungan itu banyak kekurangannya. Laporan tersebut tidak membahas tentang "air dalam jumlah sangat besar" yang akan digunakan proyek tambang, atau tidak memberikan informasi dasar tentang "volume yang besar" dari limbah tambang yang akan dihasilkan, ujarnya.

Tim Miller, wakil presiden operasi Glamis di Amerika Tengah, mengatakan laporan dampak lingkungan itu baru merupakan "dokumen yang sedang disiapkan." Di Guatemala City, wakil menteri Pertambangan, Jorge Antonio Garcia Chiu, membela ijin yang mereka terbitkan untuk proyek tambang itu dengan mengatakan bahwa persetujuan dicapai setelah empat bulan berkonsultasi.

Kaldany, pejabat IFC, mengatakan baik investasi maupun laporan dampak lingkungan baik adanya. "Kami adalah sebuah bank," ujarnya. "Kami bekerja berdasarkan proyek pengembangan bisnis. Selain itu, Bank Dunia juga telah menanyakan Apakah kami diperlukan? Apakah kami mempunyai nilai tambah?" Glamis telah mengeluarkan $1,3 juta untuk program sosial di desa-desa sebagai bagian pemenuhan persyaratan Bank Dunia, papar Kaldany.

Di lokasi tambang, deru mesin baru yang sedang diuji menggema di penjuru lembah. Produksi dapat mulai berjalan pada bulan November. Miller dari Glamis mengatakan tambang adalah keuntungan bagi rakyat dan perusahaannya. Sejatinya, ujarnya, Glamis tidak membutuhkan Bank Dunia, tetapi Bank Dunialah yang mendatangi Glamis. Para pejabat Bank Dunia "sangat berhasrat untuk berinvestasi" di kawasan ini, paparnya. Perusahaan itu memperkirakan akan meraup pendapatan kotor $1 milyar selama masa produksi, dengan keuntungan sebesar $200 hingga $300 juta. "Keuntungan kami sekitar 25 hingga 30 persen," ujarnya.

Ghana - Biaya Sosial

Nyaris telanjang, tangan dan kaki mereka berlumuran lumpur. Para lelaki dari Binsre, kota tua di Pantai Emas Ghana, terus berburu emas. Di sebuah lubang galian besar dengan menggunakan ember dan topi besi mereka mengaduk-aduk lumpur untuk menemukan sisa-sisa bijih emas.

Sejauh ini, industri tambang tidak memenuhi janji mereka terhadap para lelaki itu dan keluarga mereka. Mereka adalah para penambang liar yang bekerja diluar lokasi tambang 'resmi' di Ghana yang beroperasi dengan mesin-mesin canggih dari para investor barat. Mereka mengais-ngais sisa-sisa limbah yang ditinggalkan AngloGold Ashanti, perusahaan emas terbesar kedua di dunia, yang berpusat di Afrika Selatan.

Enam penambang meninggal dunia dalam beberapa tahun terakhir. Sebagian besar karena menghirup uap beracun ketika limbah tambang digelontorkan ke lubang buangan, ujar Hannah Owusu-Koranteng, salah seorang pembela hukum penambang liar tersebut. Perusahaan tambang itu sendiri berupaya mencegah mereka masuk ke lokasi. "Kami biasanya menggunakan anjing," ujar kepala keuangan AngloGold Ashanti, Kwaku Akosah-Bempah. "Lalu, mereka mengatakan kami memakai anjing untuk menggigit mereka." Maka tambang berhenti menggunakan anjing dan para penambang liar kembali ke lokasi.

Di desa tetangga, Sanso, beberapa lelaki melaporkan bahwa tanah mereka diambil perusahaan tambang. Sekarang mereka menggali terowongan ke dalam bukit limbah batu. Di sana mereka menarik, memalu, memecah dan mengayak batu untuk menemukan sisa-sisa emas. "Anda bangun pada suatu hari dan menyadari bahwa sawah Anda hancur," papar Benjamin Annan, seorang politisi setempat. "Mereka mengatakan akan mengganti rugi, tapi itu baru akan terjadi dalam jangka waktu satu atau dua tahun. Maka orang terdesak untuk menambang secara liar, seperti yang dilakukan nenek moyang kami."

Tambang seperti terowongan berukuran besar telah dikenal di Ghana selama 100 tahun. Namun dengan melejitnya harga emas dewasa ini, makin banyak perusahaan yang datang ke Ghana. Mereka membuat tambang-tambang galian terbuka dengan menggunakan sianida. Investasi ini disambut hangat oleh pemerintah.

Newmont berencana membelanjakan satu milyar dollar pada sebuah tambang baru tahun depan dan pada tahun 2007 untuk tambang kedua, yang berlokasi di kawasan hutan lindung Ghana yang terakhir yang telah digunduli. Bank Dunia juga ada di sana sedang menyiapkan utang sebesar $75 juta kepada perusahaan itu. Bank Dunia dan Newmont mengaku mereka sedang berupaya memperlihatkan contoh pembangunan masyarakat dan penambangan emas yang berjalan serasi.

Newmont memberi ganti rugi kepada petani yang terusir dari tanah mereka. Mereka menawarkan pelatihan untuk pekerjaan baru, seperti beternak siput dan membuat sabun. Newmont membangun perumahan baru dari beton dan beratap seng untuk menggantikan rumah-rumah rakyat yang terbuat dari lumpur. Tapi tambang itu hanya akan menciptakan 450 lapangan kerja purna waktu. Sebaliknya, lebih dari 8.000 orang akan terusir dari tanah mereka.
"Rumah baru kami cukup lumayan," kata Gyinabu Ali, 35 tahun, seorang janda dengan lima anak, yang baru-baru ini pindah ke rumah barunya yang berkamar dua dengan kakus di luar. Belasan rumah di sana mirip seperti perumahan massal dan murah untuk kaum miskin. "Aku rindu tanahku di mana aku bisa menanam bahan panganku sendiri."

Di Obuasi, dekat tambang pesaing Newmont, AngloGold Ashanti, hanya setengah dari rumah-rumah baru yang dibangun memiliki kamar mandi di dalam dan hanya 20 persen yang mendapat fasilitas air ledeng. Dengan pengecualian vila-vila berdinding bata tempat kediaman para eksekutif perusahaan, Obuasi dewasa ini lebih tampak seperti kawasan kota kumuh.

Pimpinan keuangan perusahaan, Akosah-Bempah, mengatakan ia merasa tersinggung melihat kondisi kumuh seperti itu. Sebagian besar pajak dan royalti yang dibayarkan perusahaan tertahan di ibukota dan tidak sampai kepada masyarakat di kawasan itu, ujarnya. "Kadang-kadang kami merasa malu pergi ke Obuasi," ujarnya. "Tidak cukup dana yang kembali ke masyarakat."

Somini Sengupta menyampaikan laporan dari New Delhi untuk artikel ini.

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
Igor O'Neill
Relawan Staf Eksekutif Nasional
Telepon kantor: (+6221) 791 93363
Fax: (+6221) 794 1673

Tanggal Buat: 24 Oct 2005 Tanggal Update: 24 Oct 2005